*Lagoon 500*
31 Jan 2010
Arys Hilman
Catatan itu muncul di layar komputer tiga hari lalu. Dari Sen-sen
Gustafsson, teman yang bermukim di Swedia. Catatannya aktual, tentang
pembelian kapal survei senilai Rp 14 miliar oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan."Geli rasanya," komentar Sensen tentang pembelian itu. Bukan
karena kapal itu tidak bagus, melainkan karena pilihan jenis kapalnya,
sebuah yacht Lagoon 500. Kapal jenis kata-maran ini, menurut dia, hanya akan
memuaskan hasrat personal ketimbang tujuan riset dan pemantauan lingkungan.
Maklum, kapal layar jenis ini lazimnya untuk para konglomerat kaya dunia
dengan fasilitas layaknya hotel bintang lima.
Saya sepenuhnya sepakat dengan Sensen. Apalagi dia kredibel dalam soal ini.
Sebagaimana keluarga lainnya di Swedia, dia memiliki kapal yang biasa
digunakan untuk menyinggahi pulau-pulau yang amat banyak di negerinya.
Suaminya, saat tahu Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli Lagoon 500
untuk survei, pun berseru takjub. "Are you kidding? katanya. Lagoon 500,
baginya, lebih mungkin untuk bersenang-senang dibandingkan penelitian.Dari
sudut harga dan kelengkapan, kapal ini adalah gambaran kemewahan. Tidak
hanya bagi kita yang sulit menghitung angka nol pada nilai 14 miliar,
melainkan juga bagi para pemilik kapal layar di dunia. Amat mudah bagi kita
untuk menyimpulkan bahwa ada hal yang berlebihan, tidak proporsional, dan
keterlaluan dalam masalah ini.
Citra kemewahan akan sangat terasa saat fakta yang hadir adalah sesuatu yang
tak terbayangkan bakal terjangkau. Kalau kita tak mampu membeli mobil
senilai Rp 200 juta, maka kita akan menyebutnya sebagai barang mewah. Kalau
kita tak mampu membeli rumah seharga Rp 1 miliar, maka kita akan menilai
rumah seharga itu sebagai kemewahan. Tapi, kalau kita punya mobil senilai Rp
300 juta dan rumah seharga Rp 5 miliar, maka kita takkan lagi merasakan
kemewahan pada mobil dan rumah dengan nilai di bawahnya.Kalau pemilik ide
pembelian Lagoon 500 menilai kapal itu dalam jangkauan kemampuan mereka,
maka ia takkan merasakan kemewahan kapal itu. Mereka akan menyebutnya
sebagai kewajaran. Sayangnya, hal ini bermakna bahwa ia berjarak amat jauh
dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat yang uangnya mereka setor dalam
bentuk pajak dan menjadi modal pembelian kapal itu.
Kesenjangan semacam itu berbahaya. Pemegang kebijakan tumpul nuraninya dan
menggunakan standar kehidupan yang menjulang seakan-akan sebagai haknya.
Takkan mengherankan, bila mereka juga akan berlaku serupa saat membeli mobil
dinas, membangun pagar kantor, atau merenovasi rumah jabatan. Padahal, semua
modal pembelian, pembangunan, atau renovasi berasal dari rakyat yang akan
menganggap semua itu sebagai kemewahan.Di masa lalu, sekitar masa pergeseran
abad ke-19 ke abad ke-20, perilaku ini muncul di kalangan priyayi, pengemban
jabatan dari pemerintah kolonial, dan para bupati.
Tentu bukan Lagoon 500 atau Toyota Crown Royal Saloon yang mereka
per-tontonkan kepada rakyat pembayar pajak atau upeti, melainkan kuda-kuda
terbaik dan tergagah. Para bupati biasa menukarkan kuda-kuda mereka yang
patah kakinya dengan kuda-kuda bagus milik priyayi rendahan. Mirip seorang
menteri yang mengeluhkan kendaraan dinas Toyota Camry berusia lima tahun dan
begitu senang karena kendaraan penggantinya bernilai tiga kali lipat. Ini
adalah persoalan gaya hidup yang terpaut jarak amat jauh dengan kehidupan
rakyat. Elite-elite birokrasi tak merasa bersalah menggunakan uang rakyat
untuk kepentingan yang menurut mereka wajar belaka, padahal rakyat
menganggapnya sebagai hal yang tak patut. Di era modern, mereka mungkin akan
melakukan "penelitian" di atas Lagoon 500 seraya mengajak anak istri karena
empat kamar di dalam kapal itu memang nyaman untuk berpesiar. Ini tak ada
bedanya dengan para bupati di masa lalu yang acap mengajak kawan-kerabatnya
untuk berburu harimau atau rusa, walaupun sadar betapa mahalnya pesiar
semacam itu.
Kesenjangan ini pula yang sebenarnya muncul dalam persoalan penggusuran di
rumah-rumah dinas militer. Mereka yang terusir lazimnya adalah keluarga
kelas prajurit hingga perwira menengah, bukan perwira tinggi. Saat kebutuhan
rumah untuk mereka tak terpenuhi, segelintir perwira justru berjarak dengan
gaya hidup mereka yang berbeda. Boleh dibilang, semua kesatuan memiliki
lapangan golf. Demikian pula, banyak kotama di daerah dan korps memiliki
fasilitas semacam itu. Untuk siapa? Tentu bukan untuk tamtama atau bintara.
Kemewahan yang melampaui rasa kepatutan masyarakat adalah hal konyol. Dalam
banyak kasus malah terasa memalukan. Saya teringat cerita tentang para
utusan pemerintah kita saat menegosiasikan utang dengan Jepang. Mereka
datang ke tempat pertemuan menggunakan mobil mewah, sementara para pejabat
negara pemberi utang justru hadir naik kereta bersama masyarakat mereka pada
umumnya.
Sumber: http://bataviase. co.id/node/ 78090?page= 3
Senin, 01 Februari 2010
Lagoon 500
Langganan:
Postingan (Atom)